Jumat, 14 Mei 2010

Referat Anemia Aplastik

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Definisi

Anemia aplastik merupakan salah satu bentuk anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang (Bakta, 2006).

Lee (1993) menyatakan tidak seluruhnya kelainan sumsum tulang yang terjadi diakibatkan oleh aplasia, pada sebagian besar kasus ditemukan sumsum tulang mengalami hipoplasia sehingga pada kasus ini dapat disebut juga anemia hipoplastik.

Istilah anemia aplastik pertama kali diperkenalkan oleh Ehrlich pada tahun 1988 yang ditemukan pada wanita hamil, namun sampai saat ini patogenesisnya masih tetap sulit dipahami (Yilmaz dkk., 2007)

Pengertian pansitopenia sendiri dikemukakan oleh Bakta (2006) yaitu keadaan yang ditandai oleh anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala perwujudan klinisnya.

1.2. Prevalensi

Anemia aplastik tergolong penyakit dengan prevalensi yang jarang dengan angka insidensi di negara maju 3-6 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Negara timur memiliki angka insidensi lebih tinggi 2-3 kali dibandingkan dengan negara barat. Jenis kelamin juga menentukan prevalensinya. Umumnya pria lebih sering terkena daripada wanita. Faktor lain yang menentukan yaitu lingkungan. Infeksi virus terutama virus hepatitis diduga memegang peranan penting dalam patogenesis penyakit ini (Bakta, 2006).

Yilmaz dkk. (2007) mengungkapkan prevalensi kasus anemia aplastik pada wanita hamil adalah jarang. Tapi menurutnya kehamilan yang disertai dengan kelainan anemia aplastik ini merupakan kondisi yang serius.

Pada tahun 1955 dilaporkan di Iran dua kasus anemia aplastik yang diduga disebabkan oleh hepatitis dan berikutnya pada tahun 1975 ditemukan lebih dari 200 kasus (Farahmand dkk., 2005).

Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun. Puncak insidensi kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Di Amerika Serikat dan Eropa timur umur sebagian besar pasien berkisar antara 15-24 tahun. Sebagian besar kasus anemia aplastik di Cina diderita oleh perempuan berumur di atas 50 tahun dan pada pria setelah umur 60 tahun. Di Prancis, pada pria ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 tahun dan di atas umur 60 tahun, sedangkan pada wanita kebanyakan menderita pada umur di atas 60 tahun (Sudoyo dkk., 2006).

BAB II. PEMBAHASAN

2.1. Etiologi

Etiologi anemia aplastik dijelaskan dalam Isselheacher dkk. (2000) diperkirakan disebabkan oleh cedera atau kerusakan sel induk pluripoten umum sehingga populasi sel berikutnya mengalami cedera atau kerusakan yang sama. Sekitar separuh dari kasus anemia aplastik yang diderita penduduk Amerika tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Sementara itu di banyak daerah di dunia yang mungkin menderita anemia aplastik karena pajanan toksin seperti insektisida dan benzen dalam dosis yang tidak terkontrol. Pada beberapa kasus, kelainan klon sel induk juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Selain itu dapat pula karena rusaknya lingkungan mikro sumsum tulang yang menyebabkan kegagalan sumsum tulang tersebut. Mekanisme imun tampaknya dapat juga berperan dalam patogenesis penyakit ini.

Menurut Bakta (2006) penderita anemia aplastik yang tidak dapat diketahui penyebabnya dengan presentasi 50-70 % disebabkan karena penyakit ini berlangsung perlahan-lahan dan selain itu belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelitian etiologi anemia aplastik dikaji melalui pendekatan epidemiologinya.

Sudoyo dkk. (2006) menjelaskan gambaran etiologi anemia aplastik dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Anemia Aplastik di Masa Lalu (Sudoyo dkk, 2006)

Toksisitas langsung

· Latrogenik

- Radiasi

- Kemoterapi

· Benzena

· Metabolit intermediet beberapa jenis obat

Penyebab yang diperantai imun

Penyebab yang diperantai imun

· Latrogenik: transfusion-associated graft-versus-host disease

· Fasciitis eosinofilik

· Penyakit terkait hepatitis

· Kehamilan

· Metabolit intermediet beberapa jenis obat

· Anemia aplastik idiopatik

Sementara Bakta (2006) menerangkan etiologi anemia aplastik seperti pada tabel berikut.

Tabel 2. Penyebab Anemia Aplastik (Bakta, 2006)

Primer

· Kelainan Kongenital

- Fanconi

- Non Fanconi

- Dyskeratosis congenita

· Idiopatik

Sekunder

· Akibat radiasi, bahan kimia atau obat

· Akibat obat-obat idiosinkratik

· Karena penyebab lain:

- Infeksi virus: hepatitis virus, virus lain

- Akibat kehamilan

Obat dan bahan kimia juga diduga berperan dalam etiologi anemia aplastik. Obat dalam dosis tertentu diperkirakan dapat menyebabkan depresi sumsum tulang.

Obat ini mencakup antagonis asam folat, obat alkilasi, antrasiklin, nitrosourea, serta analog purin dan pirimidin.

Turunan benzen dan hidrokarbon lain juga diketahui dapat menyebabkan kelainan hematologi termasuk anemia aplastik. Aplasia dapat timbul akibat penggunaan produk yang mengandung benzen. Kloramfenikol dapat menekan prekursor eritroid pada sumsum tulang, kadang-kadang juga granulosit dan megakariosit. Timbulnya anemia aplastik tidak berkaitan dengan dosis atau lamanya pengobatan karena banyak kasus anemia aplastik yang muncul setelah penghentian obat (Isselbeacher dkk., 2000)

Bakta (2006) menyertakan nama obat dan bahan kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik dalam tabel berikut.

Tabel 3. Bahan Kimia dan Obat Penyebab Anemia Aplastik (Bakta, 2006)

Bahan Kimia

· Hidrokarbon siklik: benzena, trinitrotoluena

· Insektisida: klordan atau DDT

· Arsen Organik

Obat-obat

· Obat-obat yang ”dose dependent”: obat sitostatika, preparat emas

· Obat-obat yang ”dose independent” (idiosinkratik):

- Kloramfenikol

- Fenilbutazon

- Antikonvulsan

- Sulfonamid

- Preparat emas

- Benzen

- Insektisida

- Bahan pelarut

2.2. Klasifikasi

Klasifikasi anemia aplastik menurut Lee (1993) disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4. Klasifikasi Anemia Aplastik (Lee, 1993)

Didapat

· Bahan kimia dan obat

- Dapat menyebabkan aplasia dalam dosis yang memenuhi. Misal: radiasi ion, Benzena

- Bahan yang seringkali menyebabkan hipoplasia. Misal: obat

· Penyebab lain

- Infeksi virus tertentu (Hepatitis, Epstein-Barr, HIV, dengue)

- Infeksi mikobakterial

- Difusi fasciitis eosinofilik

- Kehamilan

- Penyakit Simmond

· Idiopatik

Kongenital

· Fanconi

· Defisiensi pankreas pada anak-anak

· Kelainan herediter pada jalur folat

Yamaguchi (2005) menerangkan klasifikasi anemia aplastik terbagi menjadi anemia aplastik didapat dan anemia aplastik kongenital. Anemia aplastik didapat diungkapkan oleh Yamaguchi banyak diperantarai oleh imun. Sedangkan anemia aplastik kongenital terbagi atas Fanconi dan dyskeratosis kongenital.

Angka kejadian anemia aplastik didapat (70 %) lebih banyak daripada anemia aplastik kongenital (20%). Oleh karena itu pada pembahasan selanjutnya anemia aplastik kongenital tidak akan banyak dibahas.

2.3. Patogenesis

Young (2006) mengungkapkan mekanisme imun diduga kuat berperan dalam patogenesis penyakit anemia aplastik. Sel T sitotoksik memproduksi IFN gamma (dan TNF alfa). Sitokin ini secara pasti menginduksi apoptosis sel CD34 sebagai target sel. Setidaknya sebagian sel mengalami penghancuran melalui jalur bergantung ligan Fas. Selanjutnya Young menggambarkan proses destruksi sel hematopoiesis pada gambar berikut.

Gambar 1. Proses Destruksi Sel Asal Hematopoiesis dan Sel Progenitor

Antigen dipresentasikan kepada sel limfosit T oleh sel APC yang memicu sel limfosit T menjadi aktif dan berploriferasi. T-bet yang merupakan faktor transkripsi mengikat interferon gamma bagian promotor dan menginduksi ekspresi gen. SAP merupakan pengkode gen sebagai protein modulator yang menghambat produksi interferon gamma, mengikat Fyn dan memodulasi aktivitas SLAM pada ekspresi interferon gamma yang mengurangi transkripsi gen. Pasien anemia aplastik menunjukkan adanya ekspresi T-bet dan tingkat SAP rendah. Interferon gamma dan TNF alfa meregulasikan reseptor sel T lain dan juga reseptor Fas. Peningkatan produksi interleukin-2 berperan penting dalam ekspansi sel T. Aktivasi reseptor Fas oleh ligan Fas memacu apoptosis sel target. Beberapa efek dari Interferon gamma diperantarai melalui Interferon Regulatory Factor 1 (IRF-1) yang menghambat transkripsi gen sel dan masuk ke dalam siklus sel. Interferon gamma adalah penginduksi yang potensial pada banyak gen sel, termasuk penginduksi sintesis Nitrit Oksida (NOS) dan memproduksi gas racun Nitrit Oksida (NO) yang bersifat toksik. Peristiwa ini memicu berkurangnya siklus sel dan sel mengalami kematian melalui apoptosis (Young, 2006).

Destruksi imun yang memicu kegagalan produksi sel darah ”Anhematopoiesis” menjadikan kosongnya sumsum tulang yang dapat dilihat pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif sel-sel hematopoietik yang belum matang dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel-sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive yang disebut CD34. Pada anemia aplastik sel ini hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakariosit sangat sedikit jumlahnya. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1 % atau kurang (Sudoyo dkk., 2006).

Selanjutnya diperdalam oleh Sudoyo dkk. (2006), sel-sel T dari penderita anemia aplastik membunuh sel-sel asal hematopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel-sel asal hematopoietik primitif sedikit atau bahkan tidak mengekspresikan HLA-DR atau Fas dan ekspresi ini semakin meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Sehingga sel-sel asal hematopoietik yang primitif relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktif, sedangkan sel-sel asal yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel-sel imun.

Anemia Fanconi merupakan jenis anemia aplastik oleh sebab kongenital yaitu diwariskan secara resesif autosom dan biasanya muncul pada masa anak-anak. Sebagian besar pasien mengalami kelainan kromosom akibat gangguan perbaikan DNA (Isselheacher dkk., 2000).

2.4. Manifestasi Klinik

Pada awalnya anemia aplastik biasanya berlangsung pelan-pelan. Gejala awal adalah rasa lemah dan kelelahan yang progresif karena anemia. Adanya perdarahan dari kulit, hidung, gusi, atau saluran cerna yang disebabkan oleh trombositopenia yang diderita. Perdarahan biasanya ringan, tetapi kadang-kadang perdarahan retina atau susunan saraf pusat merupakan gejala awal. Walaupun pasien menderita neutropenia berat, tetapi jarang ditemukan adanya infeksi bakteri (Isselheacher dkk., 2000).

Bakta (2006) menambahkan mengenai gejala klinis anemia aplastik yang timbul akibat anemia, leukemia, dan trombositopenia yang diderita. Sindrom anemia dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Gejala perdarahan paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit seperti ptechie dan echymosis. Perdarahan mukosa berupa epistaksis, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis/ melena dan pada wanita bisa berupa menorhagia. Perdarahan pada organ dalam jarang dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan di otak maka akan fatal. Tanda-tanda infeksi berupa ulserasi mulut atau tenggorok selulitis leher, febris, dan sepsis. Tidak ditemukan splenomegali ataupun hepatomegali.

Sudoyo dkk. (2006) menjelaskan keluhan yang paling sering ditemukan adalah perdarahan, badan lemah, dan pusing. Keluhan pasien anemia aplastik dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 5. Keluhan pasien anemia aplastik (n=70) (Sudoyo dkk. cit. Salonder, 2006)

Jenis Keluhan

%

Perdarahan

Badan lemah

Pusing

Jantung berdebar

Demam

Nafsu makan berkurang

Pucat

Sesak nafas

Penglihatan kabur

Telinga berdengung

83

30

69

36

33

29

26

23

19

13

2.5. Pemeriksaan Penunjang

2.5.1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah rutin

Kadar hemoglobin ditemukan di bawah 7gr/dl dan nilai hematokrit mungkin 0,20 L/L atau dapat lebih rendah pada pasien baru. Pada waktu yang sama, lekopenia dan trombositopenia biasanya ditemukan.

Sudoyo dkk., (2006) menerangkan kecepatan enap darah selalu meningkat. Dari 70 kasus, 89 % dilaporkan mempunyai kecepatan enap darah di atas 100 mm dalam jam pertama.

b. Gambaran darah tepi

Eritrosit biasanya jauh ataupun mendekati normal meskipun derajat anemia berat. Jenis anemia adalah normositik normokromik.

Kadang-kadang ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Bentuk imatur juga telah dilaporkan. Bukti diseritropoeisis dijelaskan oleh beberapa penulis dengan adanya perubahan dan bentuk abnormal sel. Namun biasanya ditemukannya bentuk eritrosit muda diduga bukan merupakan diagnosis anemia aplastik (Lee, 1993).

Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis terdapat pada 75 % pasien. Retikulosit menunjukkan presentase yang normal atau rendah. Meskipun demikian, pada sebagian kecil kasus, presentase retikulosit ditemukan lebih dari 2 %. Namun, nilai ini harus dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count) sehingga dapat diketahui presentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah koreksi menandakan bukan anemia aplastik (Sudoyo dkk., 2006).

Gambaran darah tepi pada penyakit anemia aplastik yaitu sebagai berikut.

Gambar 1. Gambaran morfologi daah tepi pasien anemia aplastik. Dicuplik dari www.healthline.com/.../RBC-785551.jpg

c. Faal hemostasis

Masa perdarahan biasanya memanjang dan retraksi pembekuan buruk ketika ditemukan trombositopenia. Parameter faktor koagulasi umumnya normal. Fragilitas kapiler darah normal (Lee, 1993).

d. Sumsum tulang

Seperti yang diungkapkan oleh Isselheacher dkk. (2000), Aspirat sumsum tulang mungkin menghasilkan dry tap. Biopsi sumsum tulang akan memperlihatkan sumsum yang sangat hiposeluler atau aplastik yang terisi lemak. Biasanya terdapat penekanan megakariosit dan sel-sel mieloid. Penekanan prekursor eritroid yang mencolok tapi ringan juga ditemukan.

Gambaran sumsum tulang yang dipenuhi oleh sel lemak pada penyakit anemia aplastik dapat dilihat seperti berikut.

Gambar 2. Gambaran biopsi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. Dicuplik dari www.aplastic-anemia-myelodysplasia-glosary.co.uk/i/c/1_aa_bone_marrow.jpg

2.5.2. Pemeriksaan Lain yang diperlukan

Pemeriksaan untuk mengetahui adanya infeksi virus juga dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan meliputi virus Hepatitis, HIV, parvovirus, sitomegalovirus. Tes Ham atau tes hemolisa sukrosa untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab juga diperlukan. Pemeriksaan kromosom untuk anemia aplastik didapat tidak ditemukan adanya kromosom. Pemeriksaan kromosom ini meliputi fluorecence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotyping dengan flow cytometry untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti myelodisplasia hiposeluler. Adanya defisiensi imun diketahui melaui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T. Hemoglobin F meningkat pada anak-anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik kongenital.

Kadar eritropoeitin juga ditemukan meningkat pada penderita anemia aplaastik (Sudoyo dkk., 2006).

Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Sudoyo dkk. (2006) mengenai pemeriksaan radiologis. Nuclear Magnetic Resonance Imaging merupakan pemeriksaan untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan yang tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berseluler. Satu lagi pemeriksaan yaitu Radionuclide Bone Marrow Imaging untuk mengetahui luasnya kelainan sumsum tulang setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur.

2.6. Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) harus memenuhi kriteria berikut:

  1. Paling sedikit dua dari tiga
    1. Granulosit <>9/L
    2. Trombosit <>9/L
    3. Corrected reticulocyte <>
  2. Seluleritas sumsum tulang <>

Sedangkan anemia aplastik sangat berat bila jumlah netrofil <>9/L (Bakta, 2006).

Berikutnya Bakta (2006) menjelaskan anemia aplastik perlu dibedakan dengan kelainan yang disertai pansitopenia atau bisitopenia pada darah tepi seperti Leukemia aleukemik, sindroma mielodisplastik (tipe hipoplastik), Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH), anemia mieloptisik, dan juga pensitopenia oleh sebab lain.

Splenomegali dan hepatomegali merupakan temuan yang menyangkal adanya anemia aplastik. Invasi maligna dan non maligna harus disingkirkan dengan pemeriksaan mikroskopik sumsum tulang.

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria dan lupus eritematosus sistemik harus disingkirkan dengan pemeriksaan uji hemolisis asam dan air gula. Defisiensi vitamin 12 dan asam folat dapat dissingkirkan dengan pemeriksaan serum (Isselheacher dkk., 2000).

2.7. Terapi

2.7.1. Terapi Medikamentosa

  1. Terapi imunosupresif

Obat-obat yang termasuk dalam terapi imunosupresif adalah antithimocyte globulin (ATG) atau antilymphosyte globulin (ALG) dan siklosporin A. Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagaln sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan mungkin juga dengan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hematopoiesis (Sudoyo dkk., 2006).

Regimen imunosupresi yang paling banyak digunakan yaitu ATG yang diproduksi kuda ataupun ATG pada kelinci. Keduanya dikombinasikan dengan siklosporin. (Young dkk., 2007).

  1. Terapi untuk merangsang sumsum tulang

Pasien aplasia ringan harus diobati dengan androgen dosis adekuat sebagai terapi awal. Obat yang paling luas digunakan saat ini yaitu oksimetolon, fluoksimesteron, dan nandrolon dekanoat (Isselheacher dkk., 1993).

2.7.2. Terapi Non Medikamentosa

Dijelaskan oleh Bakta (2006), pada penderita anemia aplastik harus dijaga higienitas mulut, identifikasi sumber infeksi dan pemberian antibiotik yang adekuat. Biasanya sebelum ada hasil biakan diberikan antibiotika berspektrum luas seperti derivat penisilin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Namun sekarang lebih sering dipakai sepaosporin generasi ketiga. Untuk mengatasii anemia dapat diberikan transfusi packed red cell (PRC) jika kadar hemoglobin <>

Untuk mengatasi perdarahan diberikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit <>

Transpalntasi sumsum tulang (TST) juga merupakan salah satu alternatif terapi anemia aplastik. Namun, TST alogenik hanya tersedia untuk sebagian kecil pasien yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA.

Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94 %. TST harus ditawarkan sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor cocok. Pasien yang berusia lebih tua dari 30-35 tahun dianjurkan untuk memilih terapi imunosupresif intensif sebagai upaya pertama (Sudoyo dkk., 2006).

2.8.Prognosis

Menurut Bakta (2006) prognosis anemia aplastk sangat bervariasi, tetapi apabila tidak ada pengobatan maka biasanya prognosis buruk. Prognosis kasus anemia aplastik dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

  1. Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan (10-15 % kasus).
  2. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisis dan relaps meninggal dalam 1 tahun (50 % kasus).
  3. Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial. Hanya pada sebagian kecil penderita.

Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya resiko hematoma. Komplikasi tersebut jarang ditemukan pada pasien dengan terapi transplantasi sumsum tulang (Sudoyo dkk., 2006).